SULTAN THAHA SYAIFUDDIN (1816 — 1904)
PAHLAWAN NASIONAL
"Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No 079/TK/Tahun 1977, Tanggal 24 Oktober 1977."
Thahaningrat yang kemudian lebih dikenal dengan nama Sultan Thaha Syaifuddin dilahirkan pada tahun 1816. Pada tahun 1855 ia dinobatkan menjadi Sultan Jambi menggantikan ayahnya Sultan Fahruddin.
Karena merasa selalu dirugikan oleh pihak Belanda, maka Thaha Syaifuddin tidak mengakui semua perjanjian yang pernah dibuat oleh Sultan-sultan pendahulunya. Ia tidak mengakui kekuasaan Belanda di wilayah kerajaan Jambi dan tidak akan membuat perjanjian apa pun dengan pihak Belanda. Akibatnya Sultan Thaha mendapat ancaman dari pihak Belanda. Ia diancam untuk ditangkap dan diasingkan ke Batavia. Namun gertakan itu tidak digubris oleh Sultan Thaha, sebaliknya ia mempersiapkan pasukannya untuk menantang Belanda.
Pertempuran terjadi setelah Belanda mengirim pasukannya yang terdiri dari 30 buah kapal perang ke Muara Kumpeh di bawah pimpinan Mayor van Rangen. Pasukan Sultan Thaha dengan bantuan rakyat, banyak merugikan Belanda. Benteng Belanda di Jambi diserang, begitu pula kedudukan Belanda di Surolangun Rawas. Akhirnya Belanda terpaksa mendatangkan bala bantuan pasukannya dari Aceh. Tetapi bantuan itu pun tak banyak berhasil.
Usaha adu domba mulai dijalankan oleh Belanda. Ia mengangkat putra Sultan Thaha yang tidak ikut menyingkir, sebagai Pangeran Ratu atau putera mahkota. Puteranya itu berumur 3 tahun. Untuk itu di angkatlah 2 orang sebagai walinya.
Belanda menambah terus bantuan pasukannya dari Magelang lewat Semarang dan Palembang. Pada tanggal 31 Juli 1901 pasukannya yang datang di Surolangun digempur habis-habisan oleh rakyat. Belanda terus mengadakan pengejaran sampai ke padalaman. Mereka berhasil menangkap beberapa pengikut Sultan Thaha yang tidak tahan uji. Dengan berbagai tipu muslihat, akhirnya mereka dapat mengetahui kekuatan dan lokasi pasukan Sultan Thaha. Pada tahun 1904 Belanda menyerbu tempat persembunyian Sultan Thaha di sungai Aro. Sultan itu dapat meloloskan diri bersama pasukannya, namun 2 orang panglimanya gugur. Yaitu Jonang Buncit dan Berakim Panjang.
Sampai akhir hayatnya, Sultan Thaha tidak pernah dapat ditangkap oleh Belanda. Ia akhirnya meninggal dunia di Muara Tebo pada tanggal 26 April 1904 dalam usia 88 tahun.
Demikianlah kisah perjuangan beliau dalam melawan penjajah Belanda.
Post a Comment for "SULTAN THAHA SYAIFUDDIN (1816 — 1904)"